Friday, April 21, 2006

Aku Menangis Untuk Adikku 6 Kali

16 April 2006 lalu kakakku mengirimkan sebuah artikel yang isinya terus terang membuatku terenyuh... sayang sekali, aku baru sempat cek email hari ini, so email tersebut baru ku baca. Setelah membacanya, aku memutuskan untuk menampilkannya di blogku. Isi artikel tersebut amat menyentuh hati dan mengandung hikmah yang sangat mendalam, sampai-sampai membuat mata ini tidak tahan untuk tidak menangis... terlebih lagi karena artikel ini dikirim oleh seorang kakak kepada adiknya sendiri yang amat menyayanginya. Yaa... semoa artikel ini bisa menyentuh setiap relung-relung hati yang mau dengan ikhlas membacanya sampai selesai. Semoga bermanfaat... Berikut isi email tersebut tanpa edit sama sekali...

My Brother says : "Inget dengan kumoro kan (salah satu peserta TIM ke-1) diangkatan ku, lewat email2nya, dia bisa dibilang penasehat spiritual, yang bisa meluluhkan hati ku di saat angkuh dan membatu. berikut salah satu kirimannya(sudah lama dikirim ke milis angkatan). cerita sedih memang, tapi mudah2an bermanfaat."

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batubata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." ....
Ya Allah...
dalam hening, dalam riuh...
aku ingin tetap menyebut namaMu...
Mengagungkan asmaMu...
Jadikanlah setiap kisah yang terlintas
Apa yang terbaca
Melalui mata, hati, dan fikiran hamba
sebagai pengingat dan guru terbaik bagi hamba...
Amiin...
Idzinkan hamba mencinta-Mu semampuku

No comments: