Thursday, November 20, 2008

Meretas Jalan Ke Surga (2)

Ar Ruhbanum fillail, Wal Fursanum Finnahaar

Penghuni-penghuni surga itu, mereka bagaikan rahib-rahib yang khusyuk di malam hari, dan penunggang kuda yang perkasa di siang hari. Mereka menunaikan amanahnya dengan perangkat muwashofat yang teratur. Mereka tidak lemah dengan celaan orang-orang yang mencela. Cukuplah kesalahan dan aib yang dilakukannya, menyibukkan dan memeras air matanya dalam beribadah.

Kapankah kiranya, lahir kesadaran bagi kita untuk kembali menghadirkan profil-profil mereka hari ini. Kita yang memperkenalkan diri sebagai aktivis dakwah. Kita yang menilai diri sebagai generasi qur’ani. Kita yang paling lantang menghujat kekufuran dan kebodohan atas nilai-nilai Islam. Kita yang pasang badan paling depan atas penindasan kaum muslim atas penindasan kaum muslimin di seluruh pelosok negeri. Kapankah saatnya…?

Semakin bertambah hari ini, semakin kental tuntutan kita untuk memperbaiki diri. Menjelmakan diri kita dari kata-kata menjadi amal. Menambah daftar orang-orang sholeh yang dikenal dan menjadi rujukan masyarakat. Mementaskan dakwah yang lebih utama di segala lini kehidupan, dakwah parlemen, dakwah birokrasi, kampus, sekolah adalah tidak lebih utama dari dakwah kampung dan masyarakat. Inilah tuntutan muwashofat yang bisa kita andalkan, menjadi perangkat kita menawar cinta dan rahmat Allah swt. Sehingga pembinaan yang sekarang semakin meluas, diramaikan dengan apresiasi ruhiyah yang kental dan membumi. Sampai Allah kelompokkan kita menjadi golongan Ar Ruhban dan Al Fursan.

Hendaklah kita tidak terjebak dalam dialektika serta definisi-definisi yang rumit dan melenakan. Yang menggiring kita dari substansi kepada perangkat. Dan memalingkan kita dari tujuan kepada problem. Cukuplah pernyataan Imam Syahid Hasan Al Banna menjadi taushiah bagi kita,

“Kaum muslimin pertama semoga Allah meridhoi mereka semua tidak mengenal Islam dengan lafadz-lafadz mentereng, kata-kata dan pembagian yang memukau serta dengan definisi-definisi dan istilah-istilah ilmiah. Akan tetapi, keislaman mereka adalah aqidah yang mengakar di dalam hati, menguasai jiwa, serta mendorong mereka untuk beramal sesuai dengan aqidah tersebut dan dalam rangka mewujudkan tujuan tujuan serta kandungannya”

Semoga Allah swt senantiasa memuliakan kita dengan dakwah dan amanah yang kita emban. Melunakkan hati-hati kita yang mungkin mengeras dan terpalingkan akibat beban dakwah. Dan mampu memaknai muwashofat sebagai mana para penghuni surga memaknai keberadaannya. Hingga kita bisa berhimpun bersama mereka, karena mengemban estafet perjuangan mereka. Amiin…! Wallahu ‘alam bish showwab.


Al Izzah '05

Refleksi tarbiyahku

Wednesday, November 12, 2008

Teknos. Rumah keduaku!

Tersebutlah di sebuah desa yang damai dan tenteram, tepatnya di daerah Ciangsana Gunung Putri Bogor, kurang lebih 50 m dari Gerbang Villa Nusa Indah 5, terdapat sebuah ruko berlantai dua berukuran 15 x 5 m. Di dalam ruko tersebut hiduplah sekelompok makhluk-makhluk unik dan lucu. Hidupnya” ga sampai 24 jam ko’ karena setelah pekerjaan selesai, kehidupan mereka berlanjut di rumah masing-masing. Hehehe..." Kenapa saya bilang unik dan lucu, karena bagi saya mereka adalah orang-orang baik yang selalu menghadapi hidup dengan positif thinking, apa adanya, tanpa rekayasa dan intrik apa pun, tak ada penipuan dan kemunafikan sedikit pun, mereka apa adanya. Polos seperti kertas putih. Sehingga jika saya bersama mereka, saya merasa menjadi diri sendiri. Hanya tawa, canda dan cerialah yang selalu menghiasi. Bagiku mereka adalah sahabat-sahabat terbaik yang pernah saya miliki selama saya berkelana disini. Merekalah sumber inspirasi dan kekuatan yang selalu membantu saya melepas penat setelah berkutat dengan urusan pekerjaan seharian. Mereka adalah keluarga keduaku. Teknos! Rumah Keduaku.

Perkenalkan, keluarga kedua saya. Namanya Elva Susanti, dia admin di Teknos. Masih muda dan enerjik, usianya baru 22 tahun. Anaknya manis, rame binti cerewet dan ngga bisa diem. Kalo dia sudah diem, suereeem.... Suerr deh!. Pasti ada apa-apa tuh. Paling si Anand dan Si Agung lagi ngusilin dia. Hahaha... (Siapa tuh Anand dan Agung?!). Julukkannya Uni Pucu’ Ubi. Apaan tu...?! (ini si Anand yang ngasih julukkan :D). Sejarahnya karena si “Uni Pucu’ Ubi” tuh orang Padang, logat Padangnya khas banget. Buangeeeet...!!!. Klo Elva ketemu Anand, menu masakan Padang keluar semua. Dari Pucu’ Ubi sampe sambal balado, dari keripik sanjai sampe gulai ayam padang, dari rendang sampe gulai sapi cincang, dll, dsb, etc deh. Oalaaah... Si Anand pikirannya makan melulu’, apa lagi gratisan. Hehehe... Uni Pucuk Ubi punya ciri khas yang ngga lepas. Kontak lens warna biru, mirip bule’. Klo ditanya tentang mata birunya, dengan lugas dia bilang nenek moyangnya orang Inggris. Hahaha... ada-ada saja!

Selanjutnya, Agung Budiman. Alumni UPI angkatan 2003 jurusan Matematika yang baru lulus April lalu. Dia adik kelasnya Pak Iman, koordinator Bimbel Teknos. Baru bergabung sekitar dua mingguan disini. Klo bicara, khas dengan logat Sundanya. Maklum, Pak Agung asli Cianjur. Dia Marketing sekaligus pengajar. Biar pun baru bergabung, dia cukup cepat beradaptasi dengan atmosfir Teknos yang tak menentu. Kadang panas, kadang dingin, kadang lembab, kadang pengap. Kayaknya karena terkena dampak global warming. Hehehe... Orangnya kalem, baik, penampilannya hanif. Mirip ikhwan mushola di kampus-kampus. (Lho..!! ko’ mirip ikhwan?! Emang si Agung Ikhwan, masak akhwat. Hehehe...). Gayanya khas, janggut tipis lengkap dengan kemeja dan celana dasar. Selalu bicara secukupnya saja. Tapi aslinya anaknya baik dan nyambung klo di ajak ngobrol tentang apa pun.

Ketiga, Anand. Bukan Ananda Mikola yang pembalap itu. Bukan pula Adnan Buyung Nasution pengacara berambut putih itu. Bukan juga Koffi Anand yang mantan sekjen PBB itu. Tapi Anand yang ini Anand Bojong Kulur. Hehehe... begitulah dia menyebut dirinya sendiri. Jika ditanya, “Anand asli mana?”. Dengan polos dia menjawab “Asli sini Bu”. “Sini mana” lanjutku iseng. “Ya.. Bojong Kulur” balasnya. Hehehe... Anand baru bergabung 1 minggu di Teknos. Subhanallah... Dia tak pernah mati gaya, ga da jaim-jaimnya. Dia ibarat gudang humor berjalan. Semua perkataannya berisi guyonan dan candaan yang tak ada habis-habisnya. Membuat seisi Teknos selalu tertawa bahkan terpingkal dibuatnya. Benar-benar apa adanya. Suara keras menjadi ciri khasnya. Klo ngomong kayak orang mau teriak, “Proklamasi..!!”. Alirannya Under Ground. Klo Elva dan Agung lagi nyanyi (ciee... duet maut nie ^_^), dia ngga bisa ikutan. Karena suaranya ga ketarik. Hahaha... Lantas menjadi hebohlah ruangan admin karena suara dan guyonan-guyonannya. Sehari tanpa Anand, Teknos terasa sepi. Ku ingat kalimat pertamanya padaku yang memberiku inspirasi, “Dimulai dari nol ya Bu..” (Mirip iklan Pertamina) Ucapnya kala itu ketika aku hendak mengetik di laptopnya Pak Iman yang belakangan sering mejeng di meja Admin. (Begitulah.. saya memang tidak bisa melihat laptop nganggur, apa lagi klo diizinkan menggunakannya. Rasanya tangan ini tak sabar ingin menari-menari di atas keyboards dan menuliskan semua kejadian menarik yang saya alami. Hehehe). “Bukan dimulai dari nol, tapi dimulai dari Bismillah...” balasku kemudian yang membuat Anand terpojok karena sindiran Elva dan Agung. “Nha lo!, Syukurin, mati gaya lo kali ini!” Ucap Elva balas dendam di sambut tawanya Agung. Hehehe...

Teknos memiliki beberapa siswa. Alhamdulillah siswanya baik-baik. Kelas 5 satu orang, kelas 6 delapan orang, kelas 9 enam orang, kelas 10 dan 12 masing-masing satu orang. Siswa-siswi disini juga tergolong penghuni-penghuni unik + aneh. Adit, sebagai satu-satunya siswi kelas 5 anaknya cerdas, pendiam dan enerjik. Adit tetangga saya di Villa 5, sama-sama di Clusther Kasuari. Klo weekend sering "nampak" di taman komplek bersama sepeda dan adiknya. JJS ni yee. Hehehe. Kelas 6 berisi makhluk-makhluk aneh, ada Dilla 1 dan Dilla 2 yang sifatnya bertolak belakang. Satunya Heboh, doyan teriak-teriak plus tertawa ngakak. MasyaAllah... ck.. ck.. ck.. yang satunya pendiam. Ada Dinda yang sangat menjaga adab-adab syar'i. Anak yang baik ^_^. Ada Frans, pesaing Dilla 1 yang juga doyan ngakak dan teriak-teriak. "Kompak..!!!". Ada Dimas dan Galuh yang pemalu. "Eleuh eleuh... ^_^". Pada umumnya anak-anak kelas enam semuanya baik-baik dan luchu. Setiap ku mengajar, ada saja guyonan khas tak terduga yang keluar ala mereka. Contohnya, 2 pekan lalu saat saya mengisi materi tentang struktur kalimat. Ketika diminta membuat dan membacakan kalimat tanya dengan kata apa, kapan, dimana, bagaimana, dan yang mana. Salah satu kalimat yang dibuat Dinda terbilang aneh bin jahil. Sambil senyam-senyum sendiri Dinda membacakan kalimatnya. Kenapa aneh?!?, karena Dinda membuat kalimat yang tak terduga dan saya sendiri tidak tahu jawabannya. Isinya "Kapankah Miss. Fithri akan menikah...?!?" Oalaaah nduk... Terima kasih sudah mengingatkan hehehe... Ada-ada saja :D. Lain Dinda lain lagi Dilla 1, ketika saya mengajar Dilla satu selalu mengikuti ucapan dan penjelasan saya dengan diikuti suara kerasnya. "Capcai deeeh..." Tiap saya mengajar kelas lain, selalu mejeng di depan pintu sambil dadah-dadah. "Daaah miss Fithri..." ujarnya sambil memamerkan gigi kelincinya. "Wakaka..."

Kelas 9 lain lagi. Makhluk-makhluk disini ada yang heboh ada juga yang jaim. Maklum sudah AaBeGe githu looch..! Penghuninya terdiri dari dua Srikandi dan empat Arjuna. Dea dan Geo di kawal prajuritnya Wisnu, Fadhil, Dimas, dan Rendi. Dea dan Geo penggemar berat artis Korea. Tiap pertemuan tak lepas dari sederetan cerita tentang film-film Korea, bahasa Korea plus artis-artisnya. Ngefans sana ngefas sini. "Ampyuuun daaah...". Wisnu dan Fadhil bagai kembar dibelah 10. "Nha loh?!? ya iyalah.. mukanya beda 180 derajat." Mereka mirip amplop sama perangko. Kemana-mana selalu berdua. Datang berdua pulang berdua, ke Indo Mart berdua, kemana-mana berdua. "Hehehe...". Ren anaknya pendiam dan pemalu. Dimas siswa yang lemah lembut. Bahkan saking lembutnya, saya yang perempuan aja kalah. "Hahaha.."


Kelas 12 namanya Gita. Anda pasti menebak dia seorang perempuan. Jangan tertipu dari namanya karena Gita yang ini beda dengan Gita yang lain. Gita laki-laki. Entah apa yang menghantarnya sampai ia diberi nama Gita. Hanya Allah dan kedua orang tuanya yang tau. Gita kakaknya Fadhil. Tapi walaupun kakak-adik wajah mereka tidak mirip. Gita bertubuh tinggi besar sedang Fadhil kurus. Setelah ku konfirmasi lewat Fadhil, Fadhil bilang ia mirip papanya, Gita mirip mamanya. "Ooo... pantes." Keduanya anak yang baik, sepertinya.

Sebenarnya masih banyak cerita terpendam di balik dinding-dinding gedung Teknos yang berdiri megah. Ada cicak-cicak di dinding yang suka bercerita dan bercengkrama dengan penghuni gedung saat saya mengajar. Ada kecoa yang tiba-tiba keluar dari ventilasi AC kelas. "Kayaknya si kecoa mau ikut belajar hehehe..". Ada crew-crew dan tim pengajar yang unik dan baik-baik. Ada kisah rapat koordinasi sambil mejeng di teras Teknos. Membahas tentang rencana jalan-jalan sambil tafakur alam, rencana mancing di kali Villa 5 (ada-ada saja... ^_^), rencana membuat perpustakaan untuk anak-anak, rencana membangun komunitas beriman dengan mengadakan taklim dan kajian-kajian Islam, dll, etc, dsb. Jangan kaget klo anda melihat beberapa orang duduk-duduk santai di depan Teknos, jika anda melihat seorang akhwat, maka itu adalah saya. Kita semua menyukai suasana VNI 5 di kala sore. Sangat indah, tenang, dan nyaman. Sembari melihat orang-orang berlalu lalang, anak-anak komplek bermain sepeda, plus juga abang-abang yang berjualan makanan. Mulai dari gorengan sampai siomay. "Naah.. ini langganan kita. Bang siomay julukkannya Yayang Omay. Yang ngasih julukkan si Elva, karena memang dia ngefans sama si Abang Siomay. Hehehe..."

Jika semua diceritakan disini tidak akan optimal, insyaAllah dilain waktu akan saya muat lagi cerita seputar Teknos, Rumah keduaku itu.

Titik. Tak Ada Koma.










Sujudku (8)

Wanita shalihah melukis kekuatan lewat masalahnya
Tersenyum saat tertekan
Tertawa saat hati menangis
Memberkati di saat terhina
Mempesona karena memaafkan
Mengasihi tanpa pamrih
Bertambah kuat dalam do’a dan pengharapan

Untuk setiap wanita cantik kepunyaan Allah
Biar peluh dan lelahmu menjadi pahala penebus surga
Menjadi energi penguat jiwa
Dalam merenda hidup yang lebih bermakna

Amiin...

Saudaraku, setiap kejadian pasti membawa hikmah. Kali ini saya akan memberikan pengalaman baru yang amat berharga. InsyaAllah... Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini, dan Allah mengetahui segala sesuatunya. Bahkan ketika sehelai daun gugur pun Allah mengetahuinya, seekor semut hitam berjalan di bebatuan hitam pun Allah mengetahuinya. Tak ada yang tak Allah ketahui.

Sebenarnya, saya bukanlah orang yang mudah marah, bukan juga orang yang sulit memaafkan, jika marah saya lebih memilih untuk diam dan meminta maaf kepada orang yang membuat saya marah. Tapi sebuah kejadian yang saya alami cukup memberi jutaan ilmu, hikmah dan pengalaman. Kejadian ini menjadi puncak dari semua amarah, kekesalan, sebal, dan ketidak sukaan saya yang sekian lama tersimpan akibat ketidak syar’ian prilaku-prilaku manusia dalam sebuah sisi roda kehidupan.

Hidup itu ibarat roda yang sedang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Terkadang kita bertemu tanjakkan, kadang bertemu turunan. Tak jarang pula kita bertemu batu-batu besar di jalanan yang mutlak harus kita lewati karena tak ada pilihan jalan lain. Atau suatu hari kita pun melewati jalan licin bebas hambatan ibarat sebuah jalan tol. Itulah kehidupan. Dan saat ini Allah hendak mengajarkan saya, anda, kita semua untuk lebih jauh memaknai perjuangan dan ujian dalam mengarungi samudera kehidupan. Hingga akhirnya saya menyimpulkan sebagian dari hikmah kejadian ini, bahwa “Dunia terlalu fana dan melenakan untuk mengurusi hal-hal yang tak penting dan sepele. Hanya menghabiskan energi untuk hal-hal yang tak jelas dan hanya memberi mudhorat saja”. Masih banyak hal-hal bermanfaat lain yang bisa dilakukan, diselesaikan dengan sebaik-baiknya dari pada sibuk mengurusi urusan orang lain yang tak ada kaitannya dengan kita. Intinya, kerjakanlah sesuatu yang pasti-pasti saja dan memberi kebermanfaatan bagi kita, bukan menjadikan suatu kesia-siaan.

Disana, ada banyak orang menanti uluran tangan untuk kita bantu menyelesaikan permasalahan hidup meski cukup hanya menjadi pendengar setia yang bisa meringankan beban mereka. Disana ada banyak orang menanti uluran tangan kita untuk kita cerahkan hatinya dengan kalam dan ilmu.

Bukankah hidup itu layaknya sebuah sekolah, atau kampus bernama universitas kehidupan yang tak kan habis-habisnya kita jalani hingga ajal menjelang?!. Bukankah dalam sekolah kita akan menghadapi ujian-ujian?!. Lepas dari satu ujian Allah memberi kita ujian yang lain. Lulus ujian yang satu, Allah beri ujian yang lebih berat. Tidak lulus ujian yang satu, Allah beri ujian yang lebih ringan. Begitu seterusnya. Tidak lain karena Allah ingin kita lulus hingga kelas terakhir dan menerima raport “kehidupan” dengan hasil yang memuaskan jika kita bisa menghadapi ujian dengan baik, atau sebaliknya. Tinggal kita sendiri yang memilihnya. Mau hasilnya baik atau tidak.

Bukankah dalam hidup kita sedang menuliskan sejarah kita sendiri?!. Bukankah kita akan menuai apa yang telah kita lakukan?!. Kelak di yaumil akhir, ketika mata, tangan, kaki, lidah tak bisa lagi berkelit dari ketetapan Allah, kelak ketika catatan amal-amal kita dibacakan di pengadilan akhirat. Di saat itulah kita tak bisa lagi mengelak. Maka, selama nafas masih ada, selama ruh masih di dalam jasad, hanya taubat, penyesalan dan ikhtiar perbaikan diri yang seharusnya kita lakukan. Saat melakukan kesalahan, ingatlah bahwa Allah yang tak pernah tidur mengetahuinya. Tak ada yang bisa lepas dari pengawasan Allah meski hanya gugurnya sehelai daun. Bagi saya, cukuplah kesalahan yang saya lakukan menyebabkan diri dan memeras air mata untuk bertaubat.

Hidup ibarat menulis. Kita menulis apa saja dari tiap-tiap detik yang kita lalui. Kita menulisnya di sebuah buku kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan kita sendiri. Kita menulis setiap hari dengan kalimat-kalimat yang terangkai dari perilaku dan perbuatan kita sendiri. Setiap kata yang kita tulis terangkai menjadi kalimat-kalimat. Setiap kalimat yang kita tulis terangkai menjadi paragraph. Tiap paragraph yang kita tulis terangkai menjadi kumpulan paragraph, dan tiap kumpulan paragraph yang kita tulis terangkai menjadi sebuah cerita. Cerita kehidupan kita sendiri yang setiap hari akan menjadi sejarah di sebuah buku “pertanggungjawaban” selama kita hidup di dunia.

Dalam menulis, tanda titik menandakan berakhirnya sebuah kalimat. Dan kali ini sudah cukup bagi saya untuk terlibat terlalu jauh dalam permasalahan sepele yang tak penting. Titik. Tak ada koma lagi. Cerita ini selesai. Air yang keruh membutuhkan waktu untuk dijernihkan. Maka, jangan sampai terpancing lagi di air yang keruh. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian. Cukuplah kesalahan saya menjadi jalan untuk menghisab diri sendiri. Allah berfirman bahwa dibalik kesulitan pasti akan ada kemudahan. Alhamdulillah.. satu permasalahan selesai sudah dan semuanya mengandung hikmah. Akhirnya saya sampaikan... Titik. Tak ada koma lagi.

Kepada Sang Penggenggam Jiwa,
Hamba serahkan sepenuh hidupku pada-Mu hingga Syahid menjemput nyawaku.


Refleksi Tarbiyahku

"Ketika terlalu jauh tenggelam di air yang keruh"

Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat dan pemahaman sehingga dapat mendekatkan diri kami kepada-Mu. Amin.

Monday, November 03, 2008

Meretas Jalan Ke Surga (1)

Sebutlah Amir, sedang menikmati tilawah Al Qur’an dengan amat syahdu. Setiap huruf terangkai menjadi kalimat dan ayat mengalir lembut dari bibirnya. Pita suara menghiasi bacaan mulia itu menjadi indah. Amir larut dalam luasnya samudera cinta yang terhampar, sepucuk surat cinta dari Yang Maha Kuasa. Seusai membaca Al Qur’an Amir selalu menyempatkan untuk mencium mushaf itu dengan mesra. Persis orang yang kasmaran kala mendapat kabar dan rindu dari kekasih. Begitu dalam, erat, dan penuh kasih sayang. Begitulah penuturan orang-orang yang mengenal Amir. Ia sangat mencintai Al Qur’an.

Tahukah anda ujung cerita dari Amir? Manusia ini meninggalkan dunia dalam posisi yang biasa ia dikenal orang. Ia meninggal saat mencium Al Qur’an. Begitu mesra dan penuh cinta. Seolah ia ingin menegaskan betapa besar kecintaannya kepada kumpulan ayat suci itu.

Lain Amir lain pula Jamilah. Akhwat yang satu ini sangat menghargai sholat. Ia dikenal sebagai musholiin yang baik. Tidak hanya sholat fardhu yang teramat penting. Jamilah juga berusaha sekuat tenaga bangun di malam hari untuk qiyamulail. Bahkan menurut teman-temannya, hampir setiap hari ia mengerjakan qiyamulail.

Namun begitulah, seperti kata pepatah, “Siapa yang dicintai Tuhan akan cepat dipanggil-Nya”. Jamilah pun demikian. Ia syahid dalam masa muda yang indah. Saat shubuh menjelang ia ditemukan tanpa nyawa dalam keadaan sujud. Seolah-olah ingin menegaskan kepada semua orang, tak ada keindahan di dunia selain bertemu Allah dalam sholat.


Merancang Kematian Kita

Dua kisah di atas mungkin sekedar sekelumit kecil dari banyaknya kematian yang bermakna. Kehidupan duaniawi yang singkat dan terbatas dijawab dengan padatnya amal kebaikan. Serasa memahami betul ucapan Abu Bakar ra,

Carilah kematian, di sana engkau akan menemukan kehidupan!”

Mereka menemukan makna kehidupan sesungguhnya setelah menemukan makna kematian. Bahkan telah merasakannya. Prolog di atas bukan hendak mengajak untuk berpaling dari kehidupan dunia kemudian berdiam menanti kematian. Tapi sekedar ajakan pada sebuah perenungan tentang sesuatu yang amat berharga kala menghadapi kematian, yaitu Istiqomah!

Kaidah tarbawiyah kita tidak mengajarkan manusia beriman sesaat, atau sampai kita memperoleh gelar ikhwah atau mencapai batas kurikulum pembentukkan (muwashofat) seorang al akh. Tapi dalam tarbiyah kita diajarkan untuk memikirkan nasib kita sendiri dalam merancang kematian. Bagaimana mungkin pertemuan/majelis yang hanya beberapa jam dalam satu pekan bisa menjamin seseorang bebas dari kemaksiatan sampai pertemuan berikutnya?!?. Atau seberapa jauh mata seorang murobbi/yah sanggup mengawasi mutarobbi/yahnya?!?

Kaidah tarbawiyah kita mendidik dan membina seorang manusia menjadi tangguh kala ia sendiri. Muwashofat yang dicanangkan dalam tarbiyah merujuk pada pembentukkan al akh yang mampu istiqomah hingga akhir hayat. Ia tak sekedar capaian yang dievaluasi seperti buku raport seorang pelajar saja atau sertifikat bagi peserta seminar. Tapi muwashofat yang terpatri dan menjadi utuh dalam diri seorang al akh. Teruji sampai kematian datang. Bukan sekedar di depan murobbi, teman atau qiyadah jama’ah saja.


Muwashofat tak lain adalah karakter yang terbentuk karena kebudayaan. Kebudayaan terbangun dari kebiasaan. Kebiasaan adalah kumpulan dari prilaku. Dan prilaku itu adalah sesuatu yang harus dimulai. Jadi, pembentukkan muwashofat tak sekedar tanda cross pada isian kuisioner atau jawaban pada ujian tertulis saja. Bukan pula tes fisik dan latihan berat pada dauroh-dauroh dan mukhoyam. Akan tetapi kehidupan ini adalah medan pembuktian sesungguhnya. Sanggupkah muwashofat yang diajarkan pada tarbiyah mampu bertahan? Atau hanya tersimpan dalam buku catatan dan menjadi mimpi di siang bolong. Tentu jawabannya berpulang pada masing-masing kita.

Wallahu ‘alam bish showwab.


Al Izzah '05

Refleksi tarbiyahku