Sebutlah Amir, sedang menikmati tilawah Al Qur’an dengan amat syahdu. Setiap huruf terangkai menjadi kalimat dan ayat mengalir lembut dari bibirnya. Pita suara menghiasi bacaan mulia itu menjadi indah. Amir larut dalam luasnya samudera cinta yang terhampar, sepucuk surat cinta dari Yang Maha Kuasa. Seusai membaca Al Qur’an Amir selalu menyempatkan untuk mencium mushaf itu dengan mesra. Persis orang yang kasmaran kala mendapat kabar dan rindu dari kekasih. Begitu dalam, erat, dan penuh kasih sayang. Begitulah penuturan orang-orang yang mengenal Amir. Ia sangat mencintai Al Qur’an.
Tahukah anda ujung cerita dari Amir? Manusia ini meninggalkan dunia dalam posisi yang biasa ia dikenal orang. Ia meninggal saat mencium Al Qur’an. Begitu mesra dan penuh cinta. Seolah ia ingin menegaskan betapa besar kecintaannya kepada kumpulan ayat suci itu.
Lain Amir lain pula Jamilah. Akhwat yang satu ini sangat menghargai sholat. Ia dikenal sebagai musholiin yang baik. Tidak hanya sholat fardhu yang teramat penting. Jamilah juga berusaha sekuat tenaga bangun di malam hari untuk qiyamulail. Bahkan menurut teman-temannya, hampir setiap hari ia mengerjakan qiyamulail.
Namun begitulah, seperti kata pepatah, “Siapa yang dicintai Tuhan akan cepat dipanggil-Nya”. Jamilah pun demikian. Ia syahid dalam masa muda yang indah. Saat shubuh menjelang ia ditemukan tanpa nyawa dalam keadaan sujud. Seolah-olah ingin menegaskan kepada semua orang, tak ada keindahan di dunia selain bertemu Allah dalam sholat.
Merancang Kematian Kita
Dua kisah di atas mungkin sekedar sekelumit kecil dari banyaknya kematian yang bermakna. Kehidupan duaniawi yang singkat dan terbatas dijawab dengan padatnya amal kebaikan. Serasa memahami betul ucapan Abu Bakar ra,
“Carilah kematian, di sana engkau akan menemukan kehidupan!”
Mereka menemukan makna kehidupan sesungguhnya setelah menemukan makna kematian. Bahkan telah merasakannya. Prolog di atas bukan hendak mengajak untuk berpaling dari kehidupan dunia kemudian berdiam menanti kematian. Tapi sekedar ajakan pada sebuah perenungan tentang sesuatu yang amat berharga kala menghadapi kematian, yaitu Istiqomah!
Kaidah tarbawiyah kita tidak mengajarkan manusia beriman sesaat, atau sampai kita memperoleh gelar ikhwah atau mencapai batas kurikulum pembentukkan (muwashofat) seorang al akh. Tapi dalam tarbiyah kita diajarkan untuk memikirkan nasib kita sendiri dalam merancang kematian. Bagaimana mungkin pertemuan/majelis yang hanya beberapa jam dalam satu pekan bisa menjamin seseorang bebas dari kemaksiatan sampai pertemuan berikutnya?!?. Atau seberapa jauh mata seorang murobbi/yah sanggup mengawasi mutarobbi/yahnya?!?
Kaidah tarbawiyah kita mendidik dan membina seorang manusia menjadi tangguh kala ia sendiri. Muwashofat yang dicanangkan dalam tarbiyah merujuk pada pembentukkan al akh yang mampu istiqomah hingga akhir hayat. Ia tak sekedar capaian yang dievaluasi seperti buku raport seorang pelajar saja atau sertifikat bagi peserta seminar. Tapi muwashofat yang terpatri dan menjadi utuh dalam diri seorang al akh. Teruji sampai kematian datang. Bukan sekedar di depan murobbi, teman atau qiyadah jama’ah saja.
Muwashofat tak lain adalah karakter yang terbentuk karena kebudayaan. Kebudayaan terbangun dari kebiasaan. Kebiasaan adalah kumpulan dari prilaku. Dan prilaku itu adalah sesuatu yang harus dimulai. Jadi, pembentukkan muwashofat tak sekedar tanda cross pada isian kuisioner atau jawaban pada ujian tertulis saja. Bukan pula tes fisik dan latihan berat pada dauroh-dauroh dan mukhoyam. Akan tetapi kehidupan ini adalah medan pembuktian sesungguhnya. Sanggupkah muwashofat yang diajarkan pada tarbiyah mampu bertahan? Atau hanya tersimpan dalam buku catatan dan menjadi mimpi di siang bolong. Tentu jawabannya berpulang pada masing-masing kita.
Wallahu ‘alam bish showwab.
Al Izzah '05
2 comments:
Subahanallah fit. Jazakillah, tulisannya benar-benar bisa mambuat ana menakar kembali keikhlasan dalam beribadah.
Wa iyakum. Sama-sama... semoga bermanfaat untuk kita semua. Btw, ini Reni or K' Anton ya?
Post a Comment