Thursday, April 16, 2009

Memupuk Keikhlasan I

Dalam hidup, tidak ada yang bisa menebak arah alur takdir manusia. Hidup yang sejatinya adalah catatan perjalanan yang hari demi hari menjadi lembar sejarah manusia, semuanya berujung pada kematian. Karena kematianlah yang kelak akan menjawab kehidupan sebenarnya. Pernahkah kita sejenak berfikir tentang kehidupan yang sejati?

Kehidupan tidak lepas dari ujian-ujian. Setiap ujian menghantar manusia pada muara hikmah. Karena di dalam semua ujian dan permasalahan hidup itu tersimpan hikmah. Bagi yang mampu berfikir lebih dalam mengenai hikmah ujian-ujiannya, akan memperoleh hidayah karena menggali hikmah itu adalah energi pembangun hidayah. Tinggal bagaimana kita berproses untuk belajar menggali hidayah dan hikmah yang tersembunyi dibaliknya. Kuncinya adalah kita harus siap belajar, belajar, dan belajar. Belajar tiada henti hingga akhir hayat. Belajar untuk menerima segala ujian yang Allah beri.

Sehat sakit, miskin kaya, muda tua, suka duka, bahagia menderita, semua adalah ujian. Ketika ujian demi ujian datang menerpa diri, manusia terkadang menganggapnya sebagai batu sandungan yang berat, terkadang bahkan sampai tersedu sedan tak mampu menahan rasa yang tak menentu.

Ada satu hikmah yang saya petik dari semua runtutan ujian yang terjadi dalam kurun waktu singkat ini, ujian keluarga, ketika saya akhirnya harus menyadari bahwa ketika salah satu anggota keluarga kita menikah dan bergabung dengan keluarga yang baru, serta lahirnya generasi-generasi baru, kita harus siap kehilangan, karena semua bukan lagi menjadi milik kita. Khususnya cinta, kasih sayang, perhatian bahkan materi yang terbagi atau bahkan hilang. Artinya kita harus siap kehilangan semua yang dulu pernah kita miliki. Intinya kita harus bisa mengikhlaskan, termasuk mengikhlaskan generasi baru yang lahir dari pernikahan itu untuk lebih cenderung dan dekat dengan keluarga yang lain.

Dari kejadian ini, saya makin menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini bukanlah milik kita. Semua adalah milik Allah, apa pun itu yang dalam sosial berstatus milik kita, seperti keluarga, harta, sahabat, suami, istri, dan apa pun bentuknya, semua itu adalah milik Allah yang dititipkan pada kita. Dan ketika waktunya tiba untuk melepas dan mengembalikan semua hak Allah yang dititipkan pada kita, kita harus siap dan ikhlas melepasnya.

Wallahu ‘alam Bishshawwab

Monday, April 06, 2009

My Life (New Episode)


Melepas penat di Puncak Dago Pakar Bandung, Senin, 30 Maret 2009