Monday, April 11, 2011

Jodoh di Akhirat


Kemarin sore, 10 April 2011, saya bersama sahabat saya, Atik Zuhriyah menghabiskan waktu sore dengan berjalan-jalan bersama. Tahun ini, Ms. Atik (panggilan akrab saya padanya), berencana resign dari sekolah tempat saya mengajar dulu dan kembali ke kampung halamannya di Kebumen. Saya resign lebih dulu dari Ms. Atik, yaitu pada tahun ajaran 2010-2011, sedangkan ms Atik berencana resign tahun ini. Waktu yang tersisa untuk kebersamaan kami hanya tinggal sampai akhir Juni saja, setelah itu karena jarak yang jauh, Wallahua'lam.. apa kami masih bisa bertemu lagi atau tidak?. Untuk itu, kami berusaha memanfaatkan sisa-sisa waktu yang masih Allah berikan untuk kebersamaan kami.

Ms. Atik, adalah sahabat dekat saya selama masa perantauan sejak tahun 2008. Kami bertemu bulan Juli 2008 di sebuah sekolah swasta tempat kami mengajar. Saya berkenalan dengannya tanggal 8 Juli 2008  pada saat saya mengikuti tes penerimaan guru di sekolah tempat kami mengajar. Ms. Atik lebih dulu diterima disana sedangkan saya belakangan karena memang mendaftarnya sudah dekat awal tahun ajaran baru 2008-2009. Setelah sama-sama mengajar di sekolah tersebut, Allah mendekatkan kami dalam ukhuwah yang elok. Hingga saat ini, saya tidak pernah mencatat sedikit pun kekesalan atau sakit hati pada ms Atik. Ms. Atik, adalah salah satu sahabat terbaik yang pernah saya miliki sepanjang usia saya hingga saat ini. Semoga Allah menjaga ukhuwah ini tetap baik hingga akhirat. Aamiin..

Saya menjemputnya pukul 15.00, sambil menunggu adzan asar dan datangnya waktu sholat. Setelah asar barulah kami berjalan-jalan. Saat keluar dari kawasan perumahan di Blok JI Bumi Mutiara, kami bertemu salah satu rekan di tempat mengajar yang lama, Rahmi. Saya menghentikan motor saya di depan motornya kemudian bersilaturahhim dari atas motor masing-masing dan bersalaman. Saat itu Rahmi membonceng seorang rekannya yang tidak saya kenal, sedangkan ms Atik mengenal orang tersebut adalah salah satu guru swasta di sekolah lain di kawasan Villa Nusa Indah 2. Setelah itu kami berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing.

Saya dan ms Atik melanjutkan perjalanan ke daerah Cileungsi Bogor, rencananya kami hendak ke gudang sebuah penerbit buku di daerah Perumahan Permata Hijau Cileungsi. Ms Atik minta ditemeni mencari buku Tafsir Jalalain, menurutnya jika mencari buku langsung di pusat penerbit/gudangnya, akan lebih murah dibandingkan dengan membeli ke toko-toko buku. Harga buku ini berkisar Rp. 700.000. Lumayan mahal untuk ukuran harga sebuah buku. Saya sendiri tidak mengagendakan hari itu untuk membeli buku, hanya saja jika ada buku yang menarik hati saya akan saya beli. 

Setelah berputar-putar di sekitar alamat yang dituju, kami tidak melihat aktivitas pada alamat tersebut. Hanya sebuah ruko kosong yang tak berpenghuni. Akhirnya kami berinisiatif bertanya pada seorang pedagang di dekat ruko. Sang Bapak penjual makanan kecil, menggunakan koko hijau tua wajahnya bersih memancarkan cahaya, jenggotnya agak lebat dan sebagian sudah memutih. Beliau menjelaskan bahwa penerbit buku itu sudah pindah. Kemudian beliau merekomendasikan kami untuk mencari buku ke sebuah tempat yang tidak jauh dari sana yaitu Studio Al Barkah. "Toko buku itu sudah pindah neng, ke Studio Al Barkah saja, disana ada buku apa saja. Lengkap neng". Begitu Sang Bapak menjelaskan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada beliau, kami pun berpamitan menuju tempat yang direkomendasikan. Mendengar nama tersebut, fikiran saya langsung mengarah pada sebuah jama'ah. Dengan tetap berhusnudzhon dengan niat membeli buku, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan ke toko buku yang disebutkan sang Bapak. 

Ternyata dugaan saya benar. Toko buku yang kami singgahi memang adalah toko buku sebuah jama'ah  yang identik dengan isbal dan cadar. Saya sempat melaju saja di depan toko buku yang dimaksud karena perasaan saya agak tidak enak mampir di toko buku yang hendak kami tuju karena kerumunan orang-orang isbal dan cadar tersebut masih ramai. Saya menghentikan motor sekitar 500 m dari toko buku tersebut kemudian bertanya kepada Ms Atik apakah akan mampir atau tidak. Ms Atik pun menyarankan mampir saja karena toh niat kami adalah mencari buku bukan apa-apa. 

Sesampainya disana, ternyata toko buku tersebut terletak di depan sebuah masjid jama'ahnya dan seperti baru selesai mengadakan kajian. Banyak orang berlalu lalang di sepanjang jalan kecil di depan toko buku tersebut. Mereka baru pulang setelah mengikuti kajian. Diantara kerumunan orang-orang berjenggot tebal, bercelana isbal, dan cadar yang berkibar tersebut, kami berdua memang nampak seperti orang aneh. Banyak mata yang memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Aku pun sempat bergidik ngeri, apa penampilanku ada yang salah ya...? hihihi.. Saat itu ms Atik menggunakan baju kaos muslimah berwarna soft pink dengan celana panjang berwarna hitam dan jilbab coklat. Sedangkan saya, menggunakan jilbab yang tak kalah ngejreng warnanya, Pink. Dipadu baju kurung muslimah yang juga berwarna pink dan rok hitam, nampaknya saya dan ms Atik lagi kompak, menggunakan pakaian yang sama-sama berwarna pink sedangkan orang-orang di sekitar kami nampak menggunakan pakaian berwarna gelap. 

Setelah mampir ke toko buku tersebut dan melihat-lihat sebentar, kami tidak menemukan buku yang hendak kami cari dan yang ada hanya buku-buku tertentu saja dan tentu saja diterbitkan oleh jama'ah tersebut. Akhirnya kami pun kembali melanjutkan perjalanan ke Kampung Cina Kota Wisata. Seringkali, jika kami berdua hendak pergi ke suatu tempat, saya bisa memperkirakan lebih dahulu bagaimana kondisi tempat yang akan kami singgahi melalui feeling (entah dari mana, munculnya hanya bersifat spontanitas dari alam fikiran saja). 

Sesampai di Kampung Cina Kota Wisata, ms Atik berencana membeli manggis. Namun buah yang dicari tidak ada, akhirnya ms Atik membeli sebungkus rujak. Selanjutnya kami berencana duduk di pinggir danau  Kampung Cina sembari menikmati sepanjang sore hari sambil makan rujak dan membaca koran Kompas yang saya beli Sabtu sore sepulang kuliah. Tak disangka, baru saja hendak memarkir motor dan mencari tempat duduk di pinggir danau, dua orang satpam menegur semua orang yang duduk di pinggir danau untuk memarkir motor di parkiran Kampung Cina. "Parkir motor di parkiran saja bu!". Tegur dua satpam berbadan besar tersebut. Sontak semua orang kaget dan kabur meninggalkan danau. Sembari mencium aroma tak sedap di pinggir danau, kami berdua pun akhirnya membatalkan rencana bersantai di pinggir danau dan melanjutkan perjalanan. "Ms, aku tahu tempat yang lumayan enak untuk menghabiskan waktu sore sambil rujakan", ujarku kemudian. "Dimana ms?, ya terserah ms Fithri aja deh dimana, aku ikut." balas ms Atik. "Oke deh". 

Saya memacu motor ke kawasan Villa Nusa Indah 5 dan masuk ke Cluster Kasuari. Disinilah saya pernah tinggal selama satu tahun, ketika awal merantau di kawasan Bekasi - Bogor. Rumah kakak pertama saya berada di sini. Dahulu, ketika keponakan pertama baru berusia beberapa bulan, kami (saya, adik laki-laki saya, dan sepupu yang bekerja sebagai pengasuh keponakan) sering menghabiskan waktu sore di sebuah taman belakang Cluster Kasuari. Taman ini dilengkapi dengan tempat duduk yang terbuat dari semen. Dulu, sekitar tahun 2008, belum banyak tanaman di sekitar taman ini sehingga sungai di seberangnya masih bisa terlihat dan perumahan disini belum banyak penghuni alias masih sepi. Sekarang beragam tanaman di pinggir sungai sudah tumbuh meninggi sehingga sungai yang biasa kami sebut kali Villa 5 sudah tidak terlihat lagi karena tertutup tanaman-tanaman itu. Kami menghabiskan waktu hampir 1 jam disini, sembari bercerita dan menikmati makanan yang kami beli. Saya membawa bekal dari rumah, oleh-oleh dari ms Esti dari Ngawi dan Stik Keju yang saya bawa seminggu lalu dari Palembang. 

Cerita di antara kami tidak pernah lepas dari kisah takdir yang harus kami jalani. Setiap manusia hidup dengan garis takdirnya masing-masing. Terkadang, dalam takdir tersebut kita tidak punya pilihan lain karena hanya ada satu pilihan yang tak bisa kita tolak. Ms Atik, yang baru akan resign akhir Juni nanti merasakan kesedihan karena akan kehilangan pekerjaan dan memulai karir dari nol lagi di kampung. Selain itu, di kampung nanti  ia akan menggantikan peran ibu (almarhumah) karena adik dan ayahnya hanya tinggal bertiga saja di kampung. Namun ia tak memiliki pilihan lain, karena semua itu adalah tuntutan keluarganya di kampung. 

Setahun lalu, ketika saya hendak resign saya pun merasakan hal yang sama dengan Ms Atik. Rasa sedih akan kehilangan pekerjaan dan harus memulai karir dari nol lagi, dan yang paling penting adalah kehilangan sahabat-sahabat yang sudah lama saling mengenal dan bekerja bersama-sama. Namun, saat itu tekad saya sudah bulat. Saya sudah tidak kuat berada dalam kondisi itu. Pada sebuah alasan, yang mungkin sebagian orang telah mencemooh saya atas pilihan resign. Saya ditakdirkan untuk berta'aruf dengan rekan kerja sendiri dan ternyata saya tidak kuat berada dalam kondisi seperti itu. Saya, hanya ingin menjalani ta'aruf dengan tenang tanpa terlalu sering bertemu dengan orang yang sedang ta'aruf dengan saya. Mungkin alasan tersebut dianggap sebagian orang tidak masuk akal. Tapi, takdir ini saya yang menjalani, bukan orang lain. Sehingga orang lain yang tidak mengalami apa yang saya alami memang akan sangat mudah mencemooh dan mencibir saya atas pilihan resign tersebut. 

At least, semua sudah menjadi masa lalu yang meninggalkan trauma mendalam dalam hidup saya. Seumur hidup, saya tidak pernah membayangkan akan mengalami hal ini, ujian yang datang bertubi-tubi. Saya belum pernah mengenal laki-laki lebih jauh sebelum ta'aruf tersebut. Saya juga berusaha untuk menjaga diri agar tidak terkena penyakit hati dengan ikhwan mana pun karena bagi saya perkara hati sangat  sensitif dan berbahaya jika tidak bisa memanajenya sebaik mungkin. Saya lebih memilih untuk menjaga hati  untuk orang yang sudah Allah takdirkan menjadi jodoh saya. Untuk itu, ketika ta'aruf sudah berjalan pun saya tetap berusaha menjaga diri agar tidak terkena fitnah hati atau pun menyebabkan orang yang ta'aruf dengan saya terkena penyakit hati. 

Setelah lamaran, ketika orang yang berta'aruf dengan saya meminta saya memanggilnya dengan panggilan khusus/namanya saja, saya mengatakan dengan tegas kelak setelah akad baru saya akan memanggilnya dengan nama khusus. Begitu pula ketika ia menanyakan apakah saya menyukainya atau tidak, saya tetap keukeuh tidak menjawab iya atau tidak, tapi saya menyerahkan pada dirinya sendiri untuk menilai apa saya menyukainya atau tidak karena bagi saya mengungkapkan perasaan suka atau cinta pada orang yang belum halal dan belum tentu jodoh kita masih tetap haram hukumnya. Kelak, setelah akad, barulah saya akan mengungkap semua kata cinta pada orang yang benar-benar telah halal dan terikat dalam akad (mistsaqon gholizoh) pada saya. 

Banyak yang mengatakan saya kaku dan keras. Terserah, saya tidak memperdulikan hal itu. Saya hanya berusaha istiqomah menjaga diri. Saya tidak ingin membuat orang lain terkena penyakit hati lantaran pernyataan cinta yang belum saatnya. Belakangan, karena masalah perbedaan pemahaman inilah orang yang ta'aruf dengan saya memutuskan membatalkan rencana pernikahan yang 90 % hampir matang dan terlaksana.  Ia pernah mengatakan pada salah seorang teman, bahwa saya tidak benar-benar menyukainya. Ya, kami berbeda pemahaman tentang cinta. Saya memahami bahwa cinta belum boleh diungkapkan atau diobral murah sebelum akad terucap, sedangkan orang lain berfikir bahwa karena tindakan saya yang tidak berani mengungkap cinta atau memanggil dengan nama khusus sebelum akad nikah menunjukkan bahwa saya tidak suka padahal saya hanya berusaha untuk menjaga diri dari bukan muhrim meski pun dia calon suami,  ia tetap bukan muhrim saya. Penjagaan diri tetap harus dilakukan agar semua menjadi berkah dan indah ketika sudah tiba saatnya/setelah selesai ikrar dan akad. Ah, masa lalu.. Nyaris tiga tahun sejak awal Allah mempertemukan kita hingga semua selesai sudah, saya sudah tak bisa mengingat lagi semua sakit yang tergores di hati ini karena lukanya datang bertubi-tubi. Sudah tak tahu, seperti apa gambaran hati ini karena sayatan-sayatan luka itu sudah sedemikan banyak.  Hanya satu kata yang tersisa, Sakit!.

Goresan takdir, tidak hanya melukai hati saya namun juga hati kedua orang tua saya, terutama ayah karena akhirnya ayah jatuh sakit. Sosok ayah adalah panutan dengan cinta tak berbilang karena dari beliaulah saya terlahir ke dunia. Ayah, hendak mengamanahkan putrinya pada orang yang akan menggantikan kedudukannya, menjaga, menafkahi, melindungi, dan membahagiakan putrinya.  Namun, jika orang yang diharapkan memegang amanah tersebut juga tidak kuat tekadnya, bagaimana seorang ayah akan ikhlas melepas putrinya?, ikhlas memang tidak semudah mengatakannya. "Papa lihat, dari awal dia maju mundur sama kamu. Sepertinya tekadnya padamu memang tidak bulat. Ya sudah, ikhlaskan saja. Mungkin memang bukan jodohmu". Gerimis dan gemuruh kilat menghantam hati karena sebelumnya kalimat Papa bukan itu melainkan, "kalau kalian memang berjodoh, pasti akan ketemu lagi". Saya menyadari sepenuhnya, melihat gelagatnya yang seperti itu, maju-mundur dan tidak ada ketegasan, akhirnya saya ikut terbawa maju-mundur dan juga tidak berani tegas karena ada rasa khawatir menyakiti orang lain yang sudah berniat baik.

Ikhlas, kata yang indah. Berkali-kali saya diuji dengan satu kata ini. Dengan kasus yang sama pula, dan berhadapan dengan orang yang sama. Awalnya, ikhlas diisengi dan dicandai melalui tindakan-tindakan yang membuat saya tidak nyaman di lingkungan kerja ketika awal diterima bekerja, kemudian ikhlas menerima ta'arufnya lalu disakiti dengan perselingkuhannya dengan rekan kerja yang lain di awal akan menjalani ta'aruf karena iseng dengan dalil dosa tidak berasa, selanjutnya kembali ikhlas ketika ia mengajukan ta'aruf lagi, lalu bersama-sama meluruskan niat membangun rumah tangga. Selanjutnya, ikhlas lagi karena harus memilih resign, kehilangan pekerjaan dan memulai dari nol lagi karena kesepakatan sebaiknya tidak bekerja di satu lingkungan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di lingkungan kerja. Lalu, ikhlas lagi ketika ia membatalkan rencana lamaran setelah saya meminta untuk ikut ke Palembang karena kedua orang tua tidak ada yang menemani, kemudian ikhlas lagi ketika ia mengajukan perbaikan ta'aruf ketika saya kembali ke Jakarta karena diterima di sebuah sekolah di Bekasi. 

Kemudian, ikhlas lagi ketika sahabatnya meminta rumah yang saya dapatkan untuk sahabatnya saja, sedangkan kami setelah menikah diminta tinggal di kosan dengan mengatasnamakan barang-barang yang dia miliki akan ditinggalkan untuk teman sekosnya jika saya tidak mau tinggal di kosan setelah menikah, kemudian ikhlas kembali saat ia meminta lamaran di Jakarta dengan kata lain orang tua saya yang datang ke Jakarta bukan dia dan keluarganya yang ke Palembang dengan dalil biar sama-sama adil, lalu ikhlas lagi dengan semua kejadian-kejadian di luar perkiraan dan perkataan-perkataan yang menyakitkan di saat persiapan pernikahan. Selanjutnya ikhlas lagi ketika semua rencana pernikahan yang hampir matang ia batalkan karena saya sakit hati dengan semua perlakuan dan tindakannya yang nampak tidak jelas, tidak tegas, dan tidak menghargai. Kemudian ikhlas lagi menerima  fitnah yang terjadi setelah pembatalan rencana pernikahan tersebut. 

Saya difitnah dengan perkataan-perkataan yang tidak pernah saya lakukan. Meminta puluhan juta, matre, banyak maunya, dan keras kepala. Padahal saya dan keluarga tidak pernah meminta puluhan juta, yang benar adalah dia dan keluarganya sejak lamaran tidak ada inisiatif untuk membantu hingga menjelang pernikahan barulah saya memberanikan diri mengajaknya berdiskusi membahas anggaran pernikahan, itu pun inisiatif membicarakan anggaran pernikahan muncul dari saya bukan dia sebagai laki-laki yang hendak menikahi, dan semua anggaran pernikahan itu berasal dari dana tabungan saya dan uang keluarga saya kecuali undangan dan souvenir yang direncanakan dia yang memegang tanggung jawab itu. Saya dikatakan matre karena jebakan sahabatnya yang meminta rumah kontrakan yang saya dapatkan untuk sahabatnya saja dengan dalil barang-barang yang dia miliki akan diberikan semua pada sahabatnya jika saya mau tinggal di rumah kontrakan yang saya dapatkan bukan di kosannya dan saya memilih mengikuti kemauannya untuk tinggal di kosnya setelah menikah karena dia ingin barang-barang tersebut tetap jadi miliknya bukan milik sahabatnya itu, saya dikatakan banyak maunya padahal setiap kemauan saya tidak ada yang dipenuhi, melainkan kemauannya yang terus menerus saya dan keluarga ikuti, hingga kedua orang tua saya rela datang ke Jakarta untuk menerima lamarannya demi memudahkan niat baiknya. Saya dikatakan keras kepala, karena saya berusaha keras menjaga diri, sehingga sebagian orang mengatakan saya kaku dan keras. 

Cacing saja jika terinjak kaki manusia akan menggelepar pertanda ingin membela dan menyelamatkan diri, apa lagi saya yang notabene manusia, punya hati, punya jiwa, punya rasa. Saya tidak akan marah dan sakit hati jika tidak ada hal yang membuat saya menjadi marah dan tersakiti. Apa dosa dan salah saya hingga harus disakiti bertubi-tubi dan akhirnya menyakiti keluarga saya juga?. Apa kemudahan-kemudahan yang tidak saya dan keluarga berikan?. Akhirnya, pada sebuah titik saya hanya bisa berdo'a, "Ya Rabb, jika hamba dizalimi, hamba mohon pertolonganMu dan dengan idzinMu, bersihkanlah kembali nama baik hamba". Entahlah.. apa yang sebenarnya dia inginkan dari saya hingga semua ini harus terjadi. Yang jelas, miss komunikasi, perbedaan pemahaman, dan mudahnya bercanda di saat situasi yang tidak tepat membuat semua berantakan dan semakin runyam selain faktor takdir Allah yang sudah menggariskan akan seperti ini akhir ceritanya.

Ikhlas.. terus-menerus ikhlas.. dari awal mengenal hingga sekarang. Ikhlas mencintai, ikhlas memaafkan, ikhlas melepaskan, ikhlas disakiti, ikhlas di fitnah dengan fitnah yang tidak pernah saya lakukan, ikhlas dengan semua takdir yang Allah tetapkan. Ikhlas untuk tidak lagi mengenal laki-laki. Cukup satu kali sakit hati. Cukup satu kali mengenal laki-laki, selanjutnya.. siapa pun dia, biarlah laki-laki itu datang di akhirat nanti.

Sore itu, saya dan ms Atik menghabiskan waktu hingga maghrib di Rumah Makan Bebek Cabe Hijau di kawasan Villa Nusa Indah 2. Setelah maghrib, kami menikmati makan malam disana. Percakapan tentang takdir kembali terungkap. Kami membahas perjalanan lucu yang kami lalui hari itu. Hingga tentang rencana pulang kampungnya ms Atik. Do'a dan harapan sering kami ungkap bersama diselingi kata "aamiin" di akhir perbincangan kami. Ms Atik menceritakan sahabat dekatnya saat kuliah yang  mirip dengan saya yang datang di mimpinya semalam. Sedangkan saya  bercerita tentang sahabat dekat saya saat kuliah yang juga mirip dengannya. Mungkin untuk itulah kemudian Allah mempertemukan kami berdua menjadi sahabat, karena sahabat kami di kehidupan sebelumnya saling mirip. Percakapan berakhir pada sebuah pertanyaan dari ms Atik, "Ms.. siapa ya jodohku nanti?", ujarnya pada saya. Aku menjawab ringan, "insyaAllah orang baik ms, karena ms Atik orangnya baik, aamiin", jawab saya singkat dibalas dengan aamiin pula darinya. Kami sempat membahas tentang orang-orang sholih yang tidak menikah hingga akhir hayatnya. Diantaranya Rabi'ah Al Adawiyah, Ibnu Taymiyah, dan ibnul Qoyyim Al Jauziyyah. Saya mengatakan pada ms Atik tentang isi hati saya, bahwa saya sudah tak punya keberanian  untuk mengenal laki-laki lagi dan sepanjang sisa hidup akan saya persembahkan sepenuhnya untuk perbaikan diri, ibadah, dan amal sholih. Ms Atik hanya menasihati singkat. "Jangan begitulah ms, kelak ms Fithri pasti akan mendapat ganti yang jauh lebih baik lagi dari yang kemarin". Saya hanya tersenyum kecil. Tidak menjawab perkataannya. Dalam hati saya hanya bergumam, "Sayang sekali.. hati ini sudah sedemikian sakit dan pintunya sudah saya tutup rapat dan kunci."

"Aku tidak tahu kapan aku meninggal. Saat ini, aku hanya ingin mengisi sisa hidupku dengan perbaikan diri, ibadah, dan amal sholih, selebihnya hidupku hanya akan ku persembahkan untuk Allah. Ku fikir ini bukanlah sesuatu yang salah. Menikah itu salah satu sunnah yang dicintai Allah, masih ada banyak sunnah-sunnah lain yang bisa kita lakukan selain menikah. Aku sudah tidak berani mengenal laki-laki lagi lebih mendalam (ta'aruf), cukup satu kali dalam hidupku aku disakiti selebihnya aku sudah tidak ingin disakiti apa lagi menyakiti. Pengalaman ta'aruf kemarin sudah benar-benar membuatku tidak memiliki keberanian lagi untuk melangkah mengenal laki-laki. Oleh karena itu, tawaran ta'aruf lagi yang sempat datang padaku tak bisa ku follow up lebih jauh, karena hatiku sudah tertutup untuk siapa pun. Dalam kondisi seperti ini aku juga sudah tidak memiliki keberanian untuk menikah, tapi aku tidak membenci pernikahan karena aku faham pernikahan adalah ibadah sunnah yang disukai Allah dan Rasul. Tentang siapa jodohku nanti, entah di dunia atau di akhirat Allah beri, aku sudah pasrah, aku hanya meyakini bahwa masing-masing kita diciptakan berpasang-pasangan. Dan bagiku, episode pasangan dunia sudah selesai. Sisa hidupku hanya akan ku abdikan sepenuhnya untuk Allah, hatiku hanya ku persembahkan untuk mencintai Allah. Aku, tidak akan membuka hati lagi untuk siapa pun. Cukup Allah saja di hati ini. Cukup sekali saja aku mengenal laki-laki di dunia."

"Ada Rabiah Al Adawiyah, yang mempersembahkan sisa hidupnya dengan taubat dan ibadah sepenuhnya hanya pada Allah. Ada Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, yang juga mempersembahkan sisa hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah di balik jeruji penjara dan menghasilkan karya-karya maha indah yang kemudian menjadi inspirasi bagi umat Islam di masa-masa selanjutnya. Ada Ibnu Taimiyah, guru Ibnul Qoyyim yang juga berdakwah di balik jeruji penjara dan juga menghasilkan karya-karya besar. Mereka adalah orang-orang yang tidak menikah hingga akhir hayatnya. Mereka mempersembahkan sisa hidup sepenuhnya untuk Allah. Dan aku.. aku pun ingin seperti mereka, mempersembahkan sisa usia hanya untuk Allah, perbaikan diri, ibadah, dan amal sholih. Aku.. sudah tidak ingin lagi mempersembahkan hati untuk dua tempat. Allah dan lelaki. Tidak!. Sungguh demi Allah tidak. Cukup 1 saja zat yang ada di hati ini. Cukup Allah di hatiku."

"Cinta itu hanya ada dua sisi. Cinta yang halal dan cinta yang haram. Cinta yang halal itu halal, yaitu cinta yang ada antara pasangan yang terikat dalam pernikahan, yaitu cinta antara suami dan istri. Cinta yang haram itu haram, yaitu cinta yang ada tanpa ikatan pernikahan atau akad. Misalnya cinta antara sepasang muda-mudi yang mengikat hati tanpa akad pernikahan. Kedudukannya tidak bisa disamakan atau dicampuradukan. Aku, ingin memilih cinta yang pertama, cinta yang halal. Jika tak ku dapatkan pasangan hidup di dunia, aku yakin di akhirat Allah sudah menyiapkannya untukku nanti. Jodoh di akhirat."

Berkali-kali, saya terus menyemangati hati dengan sebuah kalimat, "Jangan berputus asa dari rahmat Allah, Jangan berputus asa dari rahmat Allah". Tapi, saya sudah memutuskannya, sudah cukup sekali seumur hidup saja. Sisanya, hanya untuk mencintai Allah. Rabb.. semoga ini bukan sebuah dosa. Aamiin..

Hidup, adalah sebuah pilihan. Setiap pilihan akan kita pertanggungjawabkan. Inilah pilihanku, inilah jalan hidupku. Hiduplah dengan pilihanmu sendiri, bukan pilihan orang lain. Wallahua'lam..

No comments: