Tuesday, March 15, 2011

Aku dan Trauma (2)


Bumi Mutiara, 05 March 2011
Hari ini, takdir membawaku ke tempat yang jauh. Jauh dari negeri kelahiranku. Anganku membawaku  menyebrang ke Negara tetangga untuk menuntut ilmu. Aku berusaha melupakan dan menghilangkan semua kejadian itu dengan menuntut ilmu di tempat yang jauh. Ku harap, dengan memokuskan otak dan fikiran dengan belajar, perlahan-lahan aku bisa melupakan semuanya, terutama trauma itu. Aamiin..

Aku masih mengenang semuanya. Tahap demi tahap proses dan kejadiannya. Semua masih lekat diingatkanku, beserta semua janji-janji manis yang pernah diucapkannya. Walau bagaimanapun semua sudah terjadi, dan akan ku bawa hingga kelak akhir hidupku, bahkan sampai akhirat nanti. Suatu saat, aku menunggumu di depan sana, saat kita menceritakan semua yang pernah menimpa kita, disana di hadapan Sang Khalik, Pemilik Ruh Kita, kita akan mempertanggungjawabkan semuanya.

Aku tak bisa melupakan hari itu, 04 Desember 2010, hari ketika Papa jatuh sakit dan tiba-tiba muntah di hadapanku setelah sekian kali ia menanyakan surat-surat administrasi pernikahan yang tak kunjung ia kirim. Saat itu, aku bagaikan sebuah mainan yang digantung. Sesuka hati ia permainkan. Sesuka hati ia gantung tanpa kejelasan, apakah akan ia kirim atau tidak semua surat-surat administrasi itu. Hingga membuat Papa sakit. Hal yang paling menyakitkan di dunia ini adalah jika orang tua kita disakiti atau dilukai. Tak ada yang bisa membayar/menggantikannya, meskipun mereka membeli dunia seisinya sekali pun. Orang tua adalah segala-galanya. Aku, tak akan pernah bisa melupakan kejadian itu. Papa, maafkan aku, maafkan kami, maafkan.. 

04 Desember 2010
BLAR!, Papa muntah di hadapanku. Kotoran muntahnya berceceran dimana-mana, di lantai dan di pakaianannya. Aku berteriak histeris karena kaget dan kalut. “Papa.. Papaaa..”, aku menangis histeris karena takut sesuatu terjadi pada Papa. Aku berusaha memapahnya ke kamar. Papa berjalan pelan sembari beristighfar. Matanya memerah karena menahan sakit akibat muntah yang tiba-tiba. Aku memapah tubuhnya membawanya berbaring di kamar dan meletakan badannya lurus di tempat tidur. Papa hanya beristighfar terus beristighfar. Aku melihat jelas ada lelehan bening di matanya. 

“Papa.. papa.. maafkan aku, maafkan kami, gara-gara kami Papa jadi sakit”. 

Papa hanya diam dan minta diambilkan minum. Aku terus menangis, sesenggukan. Tak bisa ku tahan kalut hatiku. Setelah mengambil air minum dan memberinya ke Papa, Papa meminta ditinggal sendirian karena mau beristirahat. Ku lihat tatapan matanya yang kian sayu dan hanya diam membisu. Aku kembali ke ruang tengah, membersihkan bekas muntah Papa dengan lap basah. Aku terus menangis sesenggukan, tetes demi tetes air mataku jatuh ke lantai tepat di tempat muntah Papa jatuh berceceran. Sesekali aku terdiam, sambil terus terisak. Setelah membersihkan semuanya, aku kembali ke kamar. Disana, ku lanjutkan tangis itu, sesenggukan dan menderu, pilu. Sakit sekali rasanya, sakit hatiku. Ya Robbi.. mengapa Engkau memberi ujian seberat ini padaku dan keluargaku, Ya Robbi.. kuatkan kami.. kuatkanlah kami..

07 Desember 2010
Aku sudah tak tahan didzolimi. Papa sudah sakit, aku pun demikian. Saat kembali mengingatkan surat-surat kelengkapan administrasi pernikahan yang harus ia lampirkan, sekonyong-konyongnya dan dengan begitu mudahnya ia mengatakan:

"Cetak aja sendiri foto saya di facebook, kan banyak tuh".

Astaghfirullaahaladzhiim.. aku, tak bisa berhenti beristighfar dalam hati saat terus berinteraksi dengannya. Setelah sebelum-sebelumnya ia berkata dengan perkataan-perkataan yang menyakiti, belum puas ia tambah lagi luka di hati. Akhirnya kesabaran ini menguap sudah, saat itu hanya sakit yang terasa. Sakit yang terus menerus mendera. SMS itu pun terkirim sudah. HANCUR!.

Ruang Muhasabah
Ya Rabb.. mengapa di dunia ini harus ada dia dalam hidupku?,  mengapa harus ada orang sejahat itu?, hamba meyakini semua takdir-Mu baik, semua yang Engkau gariskan itu baik. Namun, terkadang hati ini terlalu dangkal untuk bisa memahami semua ajaran-ajaranMu melalui semua hikmah kejadian yang Engkau titipkan di hidupku. Aku yang lemah.

* * *


Angin sepoi-sepoi bandara membelaiku lembut wajahku. Sesekali ku pejamkan mata menghayati setiap belaian angin dan helaan nafas yang ku hirup bersama berjalannya detik waktu. Ku pejamkan mataku sembari terus mendengarkan lantunan melodi piano Yanni “The End Of August” di telingaku. Ya.. setiap denting melodinya adalah isi hatiku saat ini. Isi hati yang ingin segera pergi jauh, terbang tinggi, dan memulai hidup yang baru di tempat yang jauh. Semoga langkah ini diberkahi, Aamiin. Tatapan penuh kulempar sejauh lapangan sembari melihat pesawat-pesawat yang parkir dan siap meninggalkan landasan. Selamat tinggal, selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal luka, selamat tinggal...

09 Desember 2010
Sepulangnya Mama dari sekolah, aku menyambutnya seperti biasa. Saat itu mataku bengkak. Beberapa saat kemudian, Mama masuk ke rumah dan menghampiriku yang hanya duduk terdiam memandang kedatangannya di depan pintu. Kulihat raut wajahnya yang nampak kepayahan. Tak dapat ku tahan isakku saat itu, hingga akhirnya ia tumpah bersama pecah suara tangis yang pilu. Mama menghabur ke tubuhku. Ia memelukku erat dan aku menangis di dadanya sembari memeluk erat tubuh Mama. Kurasakan tetes demi tetes embun menetes di kepalaku. Mama menangis. Tangisku makin menjadi dan pelukku ke tubuh Mama makin erat. 

“Sabar nak.. sabar nak ya..” 

Suara isak Mama terdengar parau di telingaku. Hari itu, detik itu, kami menangis bersama. Dalam peluk erat bersama. Hangat darah yang dipompa dari jantungku terasa mengalir begitu deras. Makin membuat aku mencintai keluargaku, terutama kedua orang tuaku, yang dengan ikhlas memaafkan kami dan sabar menerima semua keputusan itu. Meski sakit bagi kami karena semua persiapan yang hampir matang itu sudah kami lakukan. Ya Allah.. Jadikanlah kami hamba-hambaMu yang ikhlas. 

Saat itu, aku memeluk erat ruhku, jiwaku, tak ada yang kucintai selain ruhku. Aku tak boleh terus terpuruk karena semua itu. Aku mencintai diriku, aku harus bangkit kembali membangun hidupku, karirku, masa depanku. 

Akhir Juni 2008
Matahari bersinar cerah. Dari balik jendela kamar kakakku di Villa Nusa Indah 5, Kluster Kasuari. Aku masih melihat lukisan nyata alam yang tersaji indah di seberang sana. Ya, dari jendela kamar depan rumah kakakku inilah aku sering mengintip tuan gunung berbaris gagah di sebrang kali Villa 5. Terkadang ia tersipu malu bersembunyi di balik awan, terkadang ia dengan PD-nya menampakkan keindahannya, berdiri kokoh disana. Pagi ini, kembali aku merencanakan survey ke beberapa tempat di sekitar Villa Nusa Indah untuk melihat beberapa sekolah. Setelah gagal dalam seleksi Research dan Analis PT Garuda Food Maret lalu, aku sempat merencanakan untuk pulang ke Palembang dan mencari kerja disana. Tetapi kakak yang membeli rumah di Villa Nusa Indah 5 Ciangsana Bogor memintaku untuk menetap di Jakarta sembari mencari kerja dan menjaga rumahnya karena ia dan keluarga kecilnya tinggal di Kalimantan, Kakak pertamaku bertugas di Pertamina Kalimantan. Hingga akhirnya takdir membawaku kesebuah tempat yang penuh pembelajaran, sebuah sekolah Islam yang kemudian menggores takdirku dengan ilmu sepenuh ikhlas dan sakit yang bertubi-tubi.

Tumpukan Tisyu
Waktu berbilang waktu, terus berlalu berganti hari demi hari. Aku, tetap disini bersama semua kenangan dan luka yang akan ku bawa sampai mati. Tak kan pernah bisa lupa semua kejadian-kejadian itu. Dan ku harap, ia pun demikian. Semoga sakit yang ku rasa, juga kau rasakan. Aamiin..

Kutipan Catatan Desember 2010

No comments: