Monday, June 16, 2008

Kenangan Terindah

(Refleksi Jelang 25 tahun perjalanan)

12 Juni 2008
Malam ini, langit Ciangsana Nampak cerah. Ku lihat bulan nampak separuh, tengah
berbaris megah dengan sinarnya di pelataran angkasa raya bima sakti, ditemani taburan bintang yang enggan berpisah. Kerlap – kerlipnya semarakkan langit malam. Pemandangan yang indah.. Di sebelah bulan, ada satu bintang yang nampak lebih terang ketimbang yang lainnya, layaknya teman setia yang tak ingin bulan merana dalam rona senandung kesendiriannya. Sementara di sebelah timur nampak satu bintang yang cahayanya kelihatan lebih terang, jelas seperti titik nyala lampu. Sementara berbagai rasi bintang nampak samar-samar. Ya.. malam ini, setelah sekian lama tak begitu memperhatikan langit malam, setelah hampir seminggu ku nikmati bed restku di rumah, mulai ku rasakan kembali getar – getar rindu. Seperti kala itu.. ketika jiwa bersenyawa dalam kenangan – kenangan indah...

Masa Kanak – kanak hingga Remaja
Saat usia balita, masih kuhabiskan di Palembang, kota kelahiranku. Menikmati indahnya masa bersekolah di taman kanak-kanak dan SD tingkat pertama. Teringat dulu, ketika berangkat sekolah hampir setiap hari bersama seorang teman kecilku, Budi namanya. Budi, tinggal di belakang rumah kami. Sekolahku, SDN 48, jaraknya kurang lebih 2 Km dari rumah. Bersama Budi dan beberapa teman lainnya (aku lupa namanya), kami pergi dan pulang sekolah mengitari jalan setapak di perumahan warga. Sambil bermain, bernyanyi, bercanda, tertawa dan terkadang lomba lari. Siapa yang lebih dulu sampai, menjadi pemenang di hari itu. Indahnya masa kecilku...

Saat memasuki tahun ajaraan baru, di kelas 2, Papa bertugas di Pulau Belitung. Kami sekeluarga pun pindah ke Pulau Belitung. Dengan hati senang gembira, ku ceritakan pada guru dan teman-temanku perihal rencana kepindahan kami. Ya, tentu saja kepindahan itu membuatku senang – riang, karena liburan sebelumnya, Papa mengajakku beserta kedua Kakakku (Kak Jemy kala itu 11 tahun dan Yu’ Ren 8 tahun) berlibur ke Pulau Belitung ketika Papa bertugas disana. Masih terlukis dalam ingatanku, saat itu kami bertiga berlarian di pinggir Pantai Tanjung Kelayang, salah satu pantai terindah di Kepulauan Belitung. Ya.. itu pertama kalinya aku dan kedua kakakku berlibur ke pantai. Kenangan indah itu pun tersimpan dalam beberapa foto. Diantaranya foto kami bertiga sedang lomba lari di tepi pantai, Kak Jemy di urutan pertama, Yu’ Ren kedua, dan aku tentu saja paling akhir, serta sebuah foto kami bertiga di tepi pantai sedang bergaya merangak seperti kuda sembari diterpa deburan ombak yang menyapu bibir pantai. Aku, Papa, Kak Jemy dan Yu’ Ren pindah lebih dulu, sedangkan Mama yang saat itu sedang hamil adikku yang bungsu dan adik laki-lakiku Feby yang saat itu berusia 3 tahun, menyusul kemudian.

Dan akhirnya, kami sekeluarga menginjakkan kaki di Pulau ini. Sepuluh tahun ku habiskan masa kanak-kanak hingga remajaku di Pulau Belitung. Jiwaku merasa dekat dengan Pulau Belitung. Pulau damai nan indah, tempatku menikmati masa-masa tak terlupakan. Adikku yang bungsu pun lahir disini. Disini pula aku merasa hidupku lebih berarti, menjadi lengkap dengan segenap anugerah yang Allah berikan. Menikmati masa kecil yang bebas bermain, di antara deburan ombak, bersepeda di pantai, jalan setapak di hutan belakang rumah, ke hutan, ke danau, memancing, memanjat pohon, berlarian di tengah hujan, menatap bintang-bintang, langit malam, dll. Diapit sepasang adik kakak yang sangat serasi, Kak Jemi dan Yu’ Ren usianya terpaut 3 tahun, Feby dan Icha usianya terpaut 4 tahun. Ya, mereka sepasang sepasang. Dan jika kami berfoto berlima, aku sebagai anak tengah, seorang diri. Sampai sepupu kecilku Fajri ketika melihat foto kami berlima, pernah berkata, “Ya… Yu’ Fit sendiri ngga ada pasangannya” sambil tertawa-tawa mengejek ala anak kecil. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Kakak dua adik ini sambil nyeletuk, “Pasangan Yu’ Fit kan Kakak Fajri, hehehe…” balasku kemudian sembari memeluk dan mencubiti pipi chubynya. Sempat ku tertegun mencoba mengartikan perkataan bocah yang saat itu belum genap 6 tahun itu. Ada-ada saja.

Disini pula aku merasa damai, di bawah mentari, di bawah hujan rintik, hujan deras, awan cerah dan awan gelap, guruh dan ombak. Diantara megahnya alam yang ku lihat dari sudut mata jiwaku. Dan disana pula kurasakan lembutnya kasihMu. Hidayah untuk megenal Islam lebih jauh. Entah berapa lama lagi aku masih diberi waktu untuk hidup, yang pasti hanya satu yang ku persiapkan, pertemuan terindah dengan Sang Kekasih, Robb-ku, di singasana abadi.

Wallahu a’lam..

1 comment:

Anonymous said...

Lebih bagus lagi kalo mbak tambahkan detil yang ada di sekeliling mbak waktu itu, terus skenario-nya juga ditambah jadi kita bisa ikut "merasakan" secara tidak langsung pengalaman mbak...