28 Februari 2011
Tepat setahun setelah pertemuan itu. Minggu bertemu Senin, Senin berganti Selasa, Selasa berganti Rabu, dan seterusnya. Kita ibarat menghitung hari demi hari dari sebongkah sejarah masa lalu yang penuh pembelajaran, menuju masa depan akhirat yang pasti. Ibarat tangis meringis dari bibir yang manis menjadi senyum menyungging penuh keikhlasan karena badai ujian akhirnya berlalu pasti. Waktu terus berjalan, kawan. Hidup bagai ujian, dan setiap kita memiliki ujian masing-masing yang tentu telah Allah perhitungkan bahwa kita pasti mampu dan sanggup menghadapi. Ujian tak pernah salah sasaran. Siswanya sudah Allah tentukan untuk menjadikan kita lulus mendapat predikat terbaik atau sebaliknya. Tadribat (latihan) dari Allah tidak pernah salah sasaran. Semua sudah digariskan kepada siapa dan bagaimana ujian itu terjadi. Semua baik bagi kita. Allah yang Maha Mengatur sudah menggariskannya sedemikian rupa agar kita menjadi hamba-Nya yang lebih baik lagi.
Di dunia fana ini, hanya Janji Allah yang pasti. Janji manusia terkadang tak mampu ia tepati karena khilaf dan lupa atau karena ia berada di bawah pengaruh dan tekanan orang lain, yang menjadikannya tak mampu menjadi diri sendiri, kehilangan jati diri dan nuraninya sendiri, karena pada dasarnya manusia itu tempat khilaf dan salah. Itulah manusia, makhluk yang Allah ciptakan dengan kelemahan (dho'if) dan keterbatasan. Apalah artinya kita?. Manusia yang kemana-mana membawa kotoran, bagai debu yang diombang-ambingkan angin takdir. Kita hanya manusia, hamba (budak) Allah yang menjalani saja apa yang digariskanNya dari sebuah kitab yang sudah tertulis, Lauh Mahfuz. Saya menuliskan sebuah kisah nyata yang saya alami sendiri, tragis dan miris, namun menuai hikmah, yang akhirnya membawa saya masuk ke dalam ruang pembelajaran bernama bab memaafkan dan memahami. Kemudian disana saya banyak belajar tentang makna memahami perbedaan karena memang setiap kita lahir dalam keadaan berbeda.
Inilah janji-janji Allah yang terus membuat saya kuat bertahan, meski badai bagai tak henti-hentinya menghadang.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS 2:286)
Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS 6:152)
Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS 7:42)
Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya (QS 23:62)
Ada begitu banyak janji yang Allah berikan bagi hamba-hambanya yang sabar dan ikhlas menghadapi ujian. Meski jikalau ujian itu diberikan pada yang lain, belum tentu yang lain mampu menghadapi.
Apakah anda berharap orang lain akan memahami anda?, Mengerti kondisi anda?, sekali lagi tidak. Orang lain hanya bisa berkomentar, berprasangka, berargumen terhadap permasalahan yang anda alami. Mereka tidak akan pernah bisa menyelami isi hati anda karena mereka tidak mengalami dan menjalani apa yang anda alami. Oleh karena itu fahami saja mereka. Dengan begitu engkau menjadi lebih kuat dibanding mereka. Hadapi dan nikmatilah ujian hidup anda. Karena Allah sudah mengukur batas kekuatan anda. (Fithri Ariani, Saat Badai itu Datang Lagi. 09 Februari 2011)
"Manusia yang pada dasarnya baik, bisa berubah menjadi sebaliknya saat ia mendapat tekanan perorangan, kelompok, atau lingkungannya. atau berada di bawah pengaruh orang lain."
Aku dan hidupku
Sekarang, yang tertinggal hanya trauma dan luka. Ibarat badai yang datang tiba-tiba, kemudian hilang juga tiba-tiba, namun meninggalkan bekas yang porak poranda. Saya, bagai baru terbangun dari tidur panjang yang melelahkan. Terjebak dalam mimpi indah membangun masa depan dan janji-janji manis. Terjepit di antara duri kawat yang menyakit, namun tak bisa berlari karena tak mampu memilih (mimpi yang menjadi nyata di bunga tidur, Juni 2010). Ibarat sebuah layang-layang, yang diterbangkan tinggi, kian meninggi. Menjauh, kian menjauh. Diterpa angin berkali-kali, nyaris jatuh berkali-kali. Berusaha bertahan (memaafkan) berkali-kali, kemudian setelah terbang makin meninggi, talinya diputus begitu saja. Sakit. Hanya sakit yang terasa. Trauma, terutama jika mengingat badainya (Desember 2010).
Kontak bathin antara anak dan ayah bisa membuat segalanya berubah. Saat anak sakit, orang tua pun akan sakit saking kuat ikatan bathin mereka. Karena didarahnya mengalir darah ayahnya, karena sang ayah menyayangi anaknya. Saat itu, semua bagai badai yang datang bertubi-tubi. Bermula dari angin yang berhembus pelan, awan putih di pelataran langit biru yang berarak indah berubah menjadi mendung hitam, kemudian menjadi rintik-rintik hujan, ia menyerinai menari mengisi detik demi detik membuat pusaran angin kemudian menjadi badai yang melibas tanpa batas, dan menghancurkan segalanya. Dan saat itu, kita sudah tak bisa lagi berlari atau menghindar dari catatan goresan tulisan langit "takdir" yang Allah tentukan. Aku, dan trauma..
04 Desember 2010
Papa marah di depan saya. Setiap hari, tak henti-henti ia menanyakan itu, saya bingung dan kalut. Sudah berkali-kali mengingatkan, namun tak jua datang. Sudah kehabisan cara dan kehilangan kekuatan. Janji hanya tinggal sampah yang muncrat bagai comberan. Semua bagai larutan asam pekat yang menyakitkan. "Mana surat-surat administrasinya?, Papa mau urus semuanya, biar cepat selesai", dan selanjutnya setiap hari... "Mana.. mana.. mana.. sini Papa yang menghubungi, mana nomornya, mau dikirim tidak? ". BLAR!, Papa muntah di hadapan saya. Papa sakit sejak 3 Desember - 17 Desember 2010. Tidak mau makan, tidak mau minum obat, hanya diam dan melamun. Saya kalut bukan kepalang. Saya yang mencuci pakaian-pakaian Papa ketika ia sakit. Air bilasannya bercampur dengan tetesan air mata saya. Saat itu, hanya ada saya, Papa, dan Allah. Dan jika teringat itu semua, hanya luka yang tersisa, terus menganga. Luka di atas luka yang belum kunjung sembuh, lalu ditimpa dengan luka-luka baru. Astaghfirullaahaladzhiim..
Saya.. Fithri Ariani, hanya hamba Allah yang dho'if penuh kehilafan. Diuji bertubi-tubi dengan ujian yang sama. Berkali-kali memaafkan dan berkali-kali pula terluka. Saya diciptakan untuk memaafkan. Diciptakan untuk menjadi manusia yang kuat bertahan. Namun, saya.. hanyalah manusia biasa yang penuh keterbatasan. Saya tidak sekuat itu. Saya terluka dan trauma.
Perbincangan Hati
"Maafkan aku Papa. Aku sudah tidak percaya laki-laki. Aku benci laki-laki. Namun aku akan tetap mencintai Papa, Kakak, dan adik laki-lakiku, serta keponakan-keponakan laki-lakiku, serta keluarga laki-lakiku. Maafkan aku Papa, walau pun Papa dan kakak atau adik laki-lakiku adalah lelaki, tapi aku sudah tak percaya laki-laki. Sekarang aku hanya ingin hidup dengan hidupku sendiri. Tidak ingin lagi bersentuhan dengan urusan berbau laki-laki, cinta, atau lawan jenis. Traumaku sudah sangat dalam. Lukaku sudah tak terperi. Meski dalam kehidupan normal aku tidak akan bisa lepas dari berinteraksi dengan laki-laki, tapi tembok yang kubuat kian meninggi. Terus ku bangun meninggi. Biar tak ada lagi yang mendaki. Aku, sakit hati.
Ku tulis semua dengan air mata. "Maafkan aku, jika ku harus menulis lagi tentang luka. Bila suatu saat engkau membacanya, lihatlah aku. Aku yang meninggalkanmu dan kau tinggalkan dengan sisa-sisa luka, yang seumur hidup akan tetap terus kubawa. Maafkan aku. Semoga Allah mengampuni kita, dan semoga apa yang ku alami, tidak akan pernah engkau atau saudara perempuanmu, atau anak perempuanmu kelak alami. Karena kau pasti tak kan kuat menghadapi seperti saat aku diuji."
Kutipan Catatan Desember 2010
No comments:
Post a Comment